DASAR-DASAR PEMIKIRAN
USULAN PERUBAHAN KELIMA UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
1. PENGANTAR
1.1. Metode Perubahan
1.2. Prinsip-Prinsip Dasar Perubahan
USULAN PERUBAHAN KELIMA UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
1. PENGANTAR
1.1. Metode Perubahan
1.2. Prinsip-Prinsip Dasar Perubahan
DASAR-DASAR PEMIKIRAN
USULAN PERUBAHAN KELIMA UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
USULAN PERUBAHAN KELIMA UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
1. PENGANTAR
Salah satu agenda utama reformasi, yaitu perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah dilaksanakan empat kali dalam periode 1999-2002 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Perubahan tersebut mendorong perbaikan kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Namun, bukan berarti konstitusi hasil perubahan tidak memerlukan perbaikan-perbaikan untuk sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan kehidupan berbangsa. Setelah Perubahan Pertama hingga Keempat dilakukan, perubahan tetap perlu diteruskan untuk menyempurnakan hukum dasar bernegara. Perubahan Kelima dilakukan agar UUD 1945 terus menjadi living and working constitution. Seiring dengan dinamisnya praktik sistem ketatanegaraan tentu konstitusi harus dapat menyesuaikan dengan kekinian dan masa depan. Oleh karenanya amandemen konstitusi dipandang tidak cukup hanya dengan perubahan yang parsial, namun hendaknya merupakan sebuah konsep perbaikan yang lebih komprehensif dan berorientasi masa depan.
Berangkat dari perubahan konstitusi adalah keniscayaan zaman, serta perlunya dibuat perubahan yang lebih komprehensif, maka upaya menyempurnakan perubahan UUD 1945 perlu didukung oleh mayoritas kekuatan politik. Terlebih, jika mengacu pada jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) di bulan Juli 2007, maka jelas sekali dukungan rakyat kepada agenda perubahan konstitusi. Dari survei tersebut terekam 73 persen warga mendukung amandemen UUD untuk memperkuat wewenang DPD, utamanya dalam hal legislasi.
Tentang keniscayaan perubahan UUD, Franscois Venter berpendapat konsep ‘konstitusi’ itu dinamis. Menurutnya, konstitusi yang ‘final’ itu tidak ada, karena konstitusi suatu negara itu bergerak bersama-sama dengan negara itu sendiri.1 Sedangkan John P. Wheeler, Jr. terang-terangan berpendapat bahwa perubahan konstitusi adalah satu keniscayaan.2 Romano Prodi bahkan mengatakan, “konstitusi yang tak bisa diubah adalah konstitusi yang lemah”, karena “ia tidak bisa beradaptasi dengan realitas; padahal sebuah konstitusi harus bisa diadaptasikan dengan realitas yang terus berubah.3 Bahkan, menurut Brannon P. Denning, sebuah mekanisme amendemen konstitusi sangat diperlukan untuk menjamin bahwa generasi-generasi yang akan datang punya alat untuk secara efektif menjalankan kekuasaan-kekuasaan mereka untuk memerintah.4
Tidak berbeda, Thomas Jefferson menegaskan hukum-hukum dan lembaga-lembaga harus seiring sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia. Ketika pemikiran manusia menjadi lebih maju, lebih tercerahkan, ketika temuan-temuan baru dibuat, kebenaran-kebenaran baru ditemukan, dan sikap-sikap serta pendapat-pendapat berubah, sejalan dengan berubahnya situasi dan kondisi, maka lembaga-lembaga negara pun harus ikut maju agar tidak ketinggalan zaman.5 James L. Sundsquist mencatat bahwa tak lama setelah diberlakukannya konstitusi tertulis pertama di Amerika, James Madison menyatakan, “Saya bukanlah salah satu di antara orang-orang—kalau memang ada-- yang berpikir bahwa Konstitusi yang baru saja diberlakukan ini adalah sebuah karya tanpa cacat.6 Dua puluh delapan tahun kemudian, Gubernur Morris menulis, “Segala yang manusiawi tak mungkin bisa sempurna.”7
Menyuarakan hal serupa, Edward McWhinney berpendapat, seperti halnya sebuah konstitusi, konstitusionalisme adalah konsep yang juga dinamis.8 Hubungan antara konstitusionalisme dan pemerintah terus-menerus berubah, di mana konstitusi itu sendiri adalah bukti paling gamblang dari perubahan itu.9 Lebih jauh McWhinney menggarisbawahi bahwa tugas dan tanggung jawab utama elite-elite politik dalam sebuah pemerintahan yang konstitusional adalah mengantisipasi, mengoreksi, dan mengubah substansi-substansi sebuah konstitusi demi memastikan bahwa konstitusi itu berada di jalan yang sama ke arah sebuah proses menuju demokrasi.10 Karenanya, menurut Friedrich, dalam konstitusi-konstitusi modern, aturan-aturan untuk melakukan amendemen membentuk satu bagian yang vital.11 Sealur dengan Friedrich, McWhinney
menyatakan:
…setiap sistem konstitusi harus selalu memiliki satu sifat inheren untuk selalu berubah; dan konstitusionalisme itu sendiri tidak semata-mata menjadi nilai-nilai substantif yang dituliskan menjadi sebuah piagam konstitusi, melainkan prosesproses aktual perubahan-perubahan konstitusi itu sendiri.12
Dalam hal kondisi faktual Indonesia, setelah perubahan konstitusi 1999 – 2002, meskipun
desain konstitusi yang dihasilkan lebih baik jika dibandingkan dengan UUD 1945 sebelum perubahan, tetap masih menyisakan problematika aturan main bernegara. Karenanya, perubahan kelima dan seterusnya wajib dilakukan untuk terus menyempurnakan hukum dasar yang menjadi pegangan kehidupan bernegara.