Picture
DASAR-DASAR PEMIKIRAN
USULAN PERUBAHAN KELIMA UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

1. PENGANTAR

1.1. Metode Perubahan
1.2. Prinsip-Prinsip Dasar Perubahan


Picture
1.2. Prinsip-Prinsip Dasar Perubahan

Prinsip yang menjadi pegangan perubahan disepakati bahwa nama hukum dasar tetap
menggunakan UUD 1945, guna menjaga semangat perjuangan dan independensi yang
melekat pada tahun kemerdekaan tersebut. Selanjutnya, hal-hal yang menjadi
kesepakatan dasar MPR ketika melakukan Perubahan Pertama hingga Keempat, juga
terus ditegaskan dalam Perubahan Kelima ini, yaitu tidak berubahnya pembukaan, negara
kesatuan, dan penguatan sistem pemerintahan presidensial. Kesepakatan tersebut perlu
ditegaskan untuk menyatakan perubahan ke depan tidak akan membongkar pondasi dasar
kehidupan bernegara, khususnya yang berhubungan dengan Pancasila sebagai dasar
negara. Kesepakatan-kesepakatan demikian disadari sebagai konsensus politik nasional
yang menjadi prasyarat kemungkinan berlanjutnya perubahan UUD.

Selanjutnya, secara substansi, perubahan lanjutan akan menyempurnakan saling kontrol
saling imbang pada cabang-cabang kekuasaan. Di bidang eksekutif, pemilihan presiden
langsung sebaiknya membuka peluang adanya calon independen, mengubah dominasi
partai politik yang saat ini memonopoli pencalonan presiden. Sedangkan untuk
menguatkan sistem presidensial yang efektif perlu desain konstitusi yang merangsang
hadirnya sistem kepartaian sederhana.

Dalam konteks demikian perlu dicatat peringatan dari Scott Mainwaring dan Matthew S. Shugart dalam “Presidentialism and Democracy in Latin America”. Menurut mereka, ketidakstabilan pemerintahan akan terjadi bila sistem presidensial dipadukan dengan sistem multi-partai yang cenderung melahirkan presidensial (minority president) dan pemerintahan terbelah (divided government). Yaitu, presiden yang hanya mendapatkan dukungan minoritas di parlemen. Hadirnya presiden minoritas dan pemerintahan terbelah, ditambah minimnya kekuasaan konstitusional, menyebabkan banyak sistem presidensial di negara-negara Amerika Latin gagal
menghadirkan demokrasi yang stabil.37

Dalam upaya mendorong hadirnya kepartaian yang sederhana tersebut maka perlu didesain pencalonan presiden yang terjadi sebelum pemilu legislatif. Dengan demikian, partai-partai didorong untuk berkoalisi dengan dasar platform kepartaian, tidak semata-mata persamaan kepentingan kekuasaan.

Di bidang legislatif, kewenangan DPD sebaiknya dikuatkan agar fungsinya sebagai penyeimbang DPR dapat dilaksanakan dengan lebih efektif. Pemilihan anggota DPD yang secara langsung melalui sistem perwakilan provinsi harus disinkronkan dengan kewenangannya yang lebih kuat. Fungsi pertimbangan yang saat ini melekat kepada DPD, dalam hal-hal yang berkaitan dengan daerah, sebaiknya ditingkatkan. Misalnya, dalam proses legislasi, DPD tidak hanya terbatas memberikan pertimbangan, tetapi turut mempunyai hak suara untuk menentukan lolos tidaknya RUU. Selain penguatan fungsional, perlu juga dilakukan penguatan struktural, terutama berhubungan dengan personal DPD. Proteksi personal adalah dengan mengangkat hak imunitas DPD yang saat ini ada dari tingkat UU ke tingkat konstitusi. Sehingga, sistem parlemen Indonesia ke depan sebaiknya mengarah pada sistem parlemen bikameral yang efektif.

Di bidang yudikatif, sebaiknya ditegaskan konsep MK sebagai court of law dan MA
sebagai court of justice. MK sebaiknya diberikan kewenangan untuk menguji semua
peraturan perundangan. Sedangkan MA diberikan kewenangan forum previlegiatum
untuk memutus kasus kejahatan pada tingkat pertama dan terakhir bagi pejabat negara.
Kewenangan MK juga perlu ditambah untuk memeriksa permohonan constitutional
complaint. Kewenangan demikian penting untuk menjamin aturan HAM di dalam
konstitusi tidak hanya menjadi aturan kosong, tanpa perlindungan konkret kepada semua
warga negara. Masih di bidang HAM, masih diperlukan perubahan lanjutan untuk
menegaskan terwujudnya perlindungan HAM, misalnya terkait jaminan kebebasan pers,
hak pekerja, dan hak perempuan.

Yang juga perlu dilakukan, pemisahan kekuasaan di dalam konstitusi harus menampung
lahirnya independent agencies yang memperkuat bangunan negara hukum. Artinya,
Komisi Hak Asasi Manusia, KPK, Komisi Kebebasan Pers, KPU harus diangkat menjadi
organ konstitusi, untuk melakukan fungsi kontrol penegakan HAM, pemberantasan
korupsi, menjamin kebebasan pers dan pemilu yang luber dan jurdil.38 Penambahan
empat lembaga independen itu melengkapi keberadaan Komisi Yudisial sebagai
penjamin prinsip lembaga peradilan yang independen, dan akuntabel. Peletakan
independent agencies ke dalam konstitusi tersebut di samping memperkokoh bangunan
negara demokrasi konstitusional Indonesia juga untuk menjawab makin kompleksnya
permasalahan ketatanegaraan modern. Dalam konteks tersebut, konsep klasik pemisahan
kekuasaan ala Montesquieu (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) sudah relatif ketinggalan
zaman. Bruce Ackerman dengan lugas mengatakan pemisahan ketatatanegaraan Amerika
Serikat berdiri di atas lima cabang kekuasaan, tidak lagi tiga, yaitu: Presiden, Senate,
House of Representatives, Mahkamah Agung, dan independent agencies.39

Akhirnya, reformasi hubungan pusat dan daerah juga harus diagendakan dalam
perubahan konstitusi. Kuatnya tuntutan otonomi daerah harus diberikan jaminan
konstitusi yang tegas untuk sejalan dengan bentuk negara kesatuan. Desain konstitusi
harus menemukan formula yang tepat untuk terus mendorong desentralisasi yang tidak
menumbuhkan potensi disintegrasi. Masih dalam konteks otonomi daerah, konstitusi juga
mesti mempunyai norma yang berpihak kepada keberagaman dan kekhususan daerah,
ataupun masyarakat adat setempat.

Penjabaran lebih lanjut dari substansi perubahan di atas, akan lebih diuraikan dalam bab bab
berikut.  [http://perubahankelimauud45.com/Perumusan-Akhir/]