Dua Tantangan Kepartaian:
Menyatukan Intelektuil, Mengorganisir Rakyat
In the past, during The Graet Depression, when Sukarno was put in jail for agitation against the administration of Dutch East Indies, Hatta and Sutan Syahrir continue [reorganize] National Party. They give a new formulation of the "Party" - namely "Education" - thus giving new dimensions and directions for politics. It's alter characteristics of the Party from mass mobilization into an institution of Education [prepare future leadership]. I find this is the correct attitude and perception for anyone NOW to join a political party, defining current national issues [corruption, unemployment] and to search grounds for provide solution. For 2014, SRI will become the first party founded on that awareness. The presence in election is expected by new generation of voters, namely the present People of Indonesia. Hopefully! Thx.
“A national revolution is only the result of a democratic revolution, and nationalism should be second to democracy. The State of Indonesia is only a name we give to the essence we intend and aim for.” In 'Perdjoeangan Kita' (Our Struggle), October 1945, Sjahrir.
Kemauan Rakjat adalah dasar kekuasaan penguasa; kemauan itu dinjatakan dalam pemilihan berkala jang djudjur dan jang dilakukan menurut hak-pilih jang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara jang rahasia ataupun menurut tjara jang djuga mendjamin kebebasan mengeluarkan suara. Pasal 35 UUDS 1950
Tiada suatu ketentuanpun dalam bagian ini boleh ditafsirkan dengan pengertian, sehingga sesuatu penguasa, golongan atau orang dapat memetik hak daripadanja untuk mengusahakan sesuatu apa atau melakukan perbuatan berupa apapun jang bermaksud menghapuskan sesuatu hak atau kebebasan jang diterangkan dalamnja. Pasal 34 UUDS 1950
If, keeping all the limitations of periodization in mind, one divides that history into four major phases--that in which the nationalist movements formed and crystallized; that in which they triumphed; that in which they organized themselves into states; and that (the present one) in which, organized into states, they find themselves obliged to define and stabilize their relationships both to other states and to the irregular societies out of which they arose--this incongruence comes plainly into view. The most obvious changes, those which caught and held the attention of the entire world, occurred in the second and third of these phases. But the bulk of the more far-reaching changes, those altering the general shape and direction of social evolution, occurred or are occurring in the less spectacular first and fourth. In 'After the Revolution: The Fate of Nationalism in the New State,' Clifford Geertz
Saat ini pemerintahan negara, lembaganya, perundangannya, orang-orangnya, terperangkap dalam oligarki - demokrasi pada bentuk kemerosotannya - karena fundamen yang tidak kuat. Partai politik dan lembaga pemerintahan yang BERJALAN sekarang hanya modifikasi artifisial saja dari apa yang selama 35 tahun Orde Baru sudah menjadi konvensi dan praktek sehari-hari: money politics, korupsi, dan beragam bentuk irasionalitas kekerasan ...
Korupsi dengan karakteristik politik - yaitu kolusi dan nepotisme - sudah terjadi sejak nasionalisasi atas perusahan-perusahan Belanda, menjadi asal usul dari BUMN. Pada tahun 1950-an, para penguasa militer - yaitu alat negara - ketika keadaan darurat, diserahi tugas mengelola BUMN. Praktek dari keadaan daurat itu, dilegitimasi Orde Baru, dilembagakan dalam GBHN dan semua produk hukumnya, yang masih berlanjut sampai sekarang. KKN menciptakan arena di mana korupsi di BUMN menjadi sumberdana politik bagi faksi-faksi penguasa [yang disatukan dalam Golongan Karya]. Kebiasaan dan praktek politik Orde Baru itu dilanjutkan oleh Partai-partai Politik sejak 1999 - pada intinya tidak tersentuh oleh logika "lengsernya Soeharo" dan Reformasi 1998, yaitu diciptakannya cetak biru bagi diskursus Reformasi Demokrasi [Amandemen UUD 1945, Otonomi Daerah, Mahkamah Konstusi, Dewan Perwakilan Daerah, Pluralisme Politik, Parlemen, Pemilihan Presiden, Pemilihan Legislatif, Pemilihan Kepala Daerah] dengan sasaran menyelenggarakan politik demokrasi dan pemerintahan bersih.
Mengapa reformasi 1998 tidak bisa menuntaskan akar dari korupsi - yang disebut KKN [Korupsi, Kolusi, Nepotisme]? Dalam sejarah pemikiran sosial, kesadaran atas realitas dari sebuah masalah muncul mendahului pengertian. Kesadaran semacam itu dimunculkan oleh krisis, ketika kontradiksi tampak dengan nyata. Media tidak akan membuat akronim KKN kalau saja tidak ada krisis 1997 dan Orde Baru bertahan. Tidak penting siapa yang pertama kali mengatakan KKN, tapi lebih penting apa yang kita mengerti dengan akronim itu. KKN adalah konseptualisasi yang gagal dirumuskan di Indonesia pasca Soeharto, baik dalam diskursus akademis, apalagi dalam diskursus politik. Akibatnya kita semua alami sekarang ini.
Setelah tiga kali Pemilihan Umum, tak satupun kebiasaan dan praktek penyelenggaraan politik dan pemerintahan bisa bebas dari KKN. KKN sudah menjadi ongkos yang pada gilirannya ditanggung setiap warganegara, terutama 60% rakyat Indonesia. Ini tercermin pada statistik ekonomi - - yang diciptakan oleh tiga dekade "Pembangunan Ekonomi dengan KKN" di mana 20% rumah tangga memborong 43.29% dari total pendapatan atau konsumsi nasional, di mana 40% rumah tangga memborong sekitar 64% sedang mayoritas 60% rumah tangga hanya kebagian sekitar 36% sisanya. [perkiraan 2002]. Di atas basis sosial dari kesenjangan ekonomi orang Indonesia itulah kita mendapati praktek politik yang sekarang, sementara semua orang hidup dalam lingkaran setan kekerasan.
Reformasi Demokrasi telah dibajak Partai Negara - yaitu partai-partai yang semata dibentuk untuk melegitimasi negara - terutama Partai Golkar - dan praktek politik - tertama di DPR - dan prototypes yang berasal dari zaman Orde Baru lainnya [UU Pemilu, UU Partai Politik, UU Susunan Kedudukan Lembaga Negara, Tata tertib DPR]. Reformasi Demokrasi telah dikhianati. Dari Pemilu ke Pemilu, dari Pilpres ke Pilpres, Pilkada ke Pilkada, opini publik yang akan terus bolak-balik, dari skandal ke lelucon, dari lalecon ke tragedi. Akhirnya seseorang akan mengevaluasi seluruh pengalaman empirisnya, dan mulai berpikir: "Tunggu, "apa sebenarnya kegunaan punya negara?" Apa yang saya butuhkan sebagai warganegara?
Tahun ini bangsa Indonesia merayakan 66 Tahun Kemerdekaan. Dimanakah kita berada? Kita berada pada fase ke-empat dari sejarah nasionalisme Indonesia, yang disebut oleh Gertz sebagai "tahap yang paling menentukan evolusi sosial selanjutnya." Ini adalah tahap ketika nasionalisme, dalam bentuknya sebagai negara, mendefinisikan kembali relasi-relasinya dengan masyarakat-masyarakat dari mana dia dahulu muncul. Di sini ada pekerjaan besar bagi Party for Reform [ partai yang berdiri setelah ada negara nasional ] yang memerlukan konsentrasi pengorganisasian, sumber daya dan waktu.
Solidaritas Masyarakat Indonesia untuk Keadilan [SMI-K] telah membuat langkah penting dengan menjadikan diskursus Etika Publik sebagai alasan untuk memulai perubahan. Mundurnya Sri Mulyani dari Menkeu SBY mengangkat term Integritas kepermukaan, menjadi simbol dari sesuatu yang lebih besar, yakni harapan bersatunya kekuatan demokratisasi dari kelas menengah. Absennya Etika Publik - baik dalam kultur birokrasi pemerintahan maupun kultur partai politik - memberikan diagnosis situasi politik pasca Pemilu 2009. Tapi itu baru permulaaan saja. Pertanyaan-pertanyaan akhirnya akan muncul dari benturan pemerintahan SBY ini.
Bagaimanapun, perubahan telah ditempuh: Kehendak berubah telah diwujudkan dengan dibentuknya partai politik baru, Partai Serikat Rakyat Indipenden [SRI] dalam penggalangan dukungan bagi SMI for President melalui Pemilu 2014. Karena itu, penting untuk mengokohkan tempat berpijak. Apakah rasionalisasi menjadikan UDHR sebagai visi sebuah Partai Politik bisa diterima? Bukankah UDHR sudah diratifikasi, bahkan beberapa pernah dipindah langsung kedalam UUD Sementara 1950, dan sekarang pun diakomodasi juga dalam Amandemen UUD 1945 oleh MPR. Bukankah kita sekarang sudah punya KPK,sudah punya Komnas HAM,sudah punya Mahkamah Konstitusi? Apa yang salah? Apa yang masalahnya?
Diskursus Reformasi Demokrasi tidak bisa diharapkan dari Partai Negara, baik dalam sistem satu, satu setengah atau multi partai, melainkan oleh Partai Warganegara. Yang dibutuhkan bukanlah partai partai baru atau lama, yang semata-mata bentukan intelektuil untuk melegitimasi negara, tapi partai yang dibentuk oleh warganegara Indonesia yang sadar, yang didedikasikan untuk seluruh warganegara Indonesia selebihnya. Di situ intelektuil dari berbagai lapangan mendapatkan tempat semestinya dan, sekali lagi, mendapat kesempatan memberikan sumbangan terbaiknya, sehingga partai politik memiliki karakteristik sebagai institusi pendidikan.
Tugas partai politik adalah mengartikulasikan kepentingan publik, merumuskan dalam bentuk kebijakan, dan mengorganisir dukungan rakyat bagi program pemerintahan, dimana pendidikan kader atau organisator menjadi sesuatu yang inheren. Mengartikulasikan kepentingan publik berarti membuat apa yang lantent [tidak disadari publik] menjadi manifest. [disadari publik]. Karena itu partai politik tidak bisa menghindari dari pertanyaan-pertanyaan kontemporer yang dihadapi, yaitu masalah nasional [national issues] seperti KKN [Korupsi, Kolusi, Nepotisme] dan masalah pemerintahan bersih [clean governance]. Diperlukan kemampuan penentuan situasi transisi Demokrasi di mana partai politik saat ini berada, yaitu dalam perspektif sejarah bangsa, dan menempatkan mission partai untuk memberikan jawaban atas tantangan zaman. Karakteristik partai sebagai institusi pendidikan, sebagai agen modernisasi, tidak bisa ditinggalkan.
Pengalaman sejarah bangsa Indonesia, pengalaman orang Indonesia sehari-hari, mestinya menjadi subjek dari diskursus politik, dan dengan demikian, sejarah mendapatkan relevansinya. Di sini dibutuhkan kehadiran partai-partai politik yang bisa mendorong intelektuil, Perguruan Tinggi, mengelaboirasi pertanyaan-pertanyaan yang, telah diterlantarkan selama 35 tahun Orde Baru , kebutuhan semacam itu sekarang ini, tidak bisa dipenuhi oleh wartawan. Dengan menegaskan UDHR sebagai visinya, maka semua gagasan reform yang lebih spesifik bisa cepat diurumuskan dan diperjuangkan dalam diskursus politik nasional. Pelajaran mahal dari pengalaman bisa digunakan dalam memperbaiki penyelenggaraan pemerintahan negara: lembaganya, perundangannya, orang-orangnya. Disitu kita hendak berhimpun agar bisa menjadi bagian dari perjuangan rakyat keluar dari lingkaran setan kekerasan: kebodohan [ignorance], kemiskinan [poverty], ketidakadilan [injustice].