Proses Lahirnya DPD dalam Pembahasan Amandemen Ketiga UUD 1945

Oleh: Bivitri Susanti, Herni Sri Nurbayanti dan Fajri Nursyamsi
Kutipan dari SEJARAH DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Munculnya gagasan bikameral bermula dari pernyataan resmi Fraksi Utusan Golongan (F-UG) dalam rapat Badan Pekerja MPR (BP MPR) yang ditugaskan mempersiapkan materi Sidang MPR. Fraksi UG mengemukakan bahwa keberadaannya tidak diperlukan lagi di MPR karena merupakan hasil pengangkatan dan bukan pemilihan. Hal ini bertentangan dengan semangat demokrasi yang menghendaki bekerjanya prinsip perwakilan berdasarkan pemilihan.  Anggota UG memaparkan dua pilihan yang tersedia. Pertama, konsep awal UUD 1945 yaitu MPR yang mempersatukan kelompok yang ada dalam masyarakat. Kedua, menerapkan sistem perwakilan dua kamar dengan memperhatikan prinsip bahwa semua wakil rakyat harus dipilih melalui Pemilu.

Lalu muncul gagasan untuk lebih meningkatkan peran UD yang perannya terbatas pada penyusunan GBHN yang hanya dilakukan lima tahun sekali. Dalam suasana inilah, lahir gagasan untuk melembagakan UD yang lebih mencerminkan representasi wilayah dan bekerja secara efektif. Tidak hanya sekali dalam lima tahun.

MPR lantas menugaskan Badan Pekerja (BP) MPR untuk melanjutkan proses perubahan tersebut melalui Ketetapan MPR No. IX/MPR/2000. Persiapan rancangan perubahan UUD 1945 dilakukan dengan menggunakan materi-materi dalam lampiran ketetapan yang merupakan hasil BP MPR periode 1999-2000. Ketetapan itu juga memberikan batas waktu pembahasan dan pengesahan perubahan UUD 1945 oleh MPR selambat-lambatnya pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002.

Materi mengenai DPD dalam UUD NRI 1945 tercantum pada Bab VIIA Pasal 22D dan 22E. Untuk usulan Pasal 22E ayat (2), diajukan dua alternatif. Selengkapnya, usulan kedua pasal tersebut, yaitu:
Bab VIIA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Pasal 22D

  1. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.
  2. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
  3. Susunan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang.
Pasal 22E

  1. Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Alternatif  1

  1. Dewan Perwakilan Daerah memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak; fiskal; agama; otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Alternatif 2

  1. Dewan Perwakilan Daerah memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak; fiskal; agama, serta ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
  2. Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang megenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak dan fiskal, dan agama serta meyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
  3. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya berdasarkan putusan Dewan Kehormatan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Daerah apabila terbukti melakukan pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana penyuapan, korupsi, dan tindak pidana lainnya yang diancam dengan hukuman pidana penjara lima tahun atau lebih, atau melakukan perbuatan yang tercela lainnya.
BP MPR kemudian menyiapkan kegiatan yang meliputi penggalian aspirasi masyarakat, pembahasan dan perumusan rancangan, uji sahih rumusan dan pembahasan akhir. Untuk keperluan ini dibentuklah Panitia Ad Hoc I (PAH I).  

Jalan menuju pembentukan sistem bikameral tidak semulus yang diharapkan. Upaya yang selanjutnya dilakukan adalah menghilangkan utusan daerah dan utusan golongan dalam MPR. Namun, upaya ini menimbulkan reaksi pro-kontra.

Berdasarkan Keputusan MPR No. 7/MPR/2001 dibentuk Komisi A yang bertugas memusyawarahkan dan mengambil putusan mengenai Rancangan Perubahan UUD 1945 dan Usul Rancangan Ketetapan MPR tentang Pembentukkan Komisi Konsitusi. Jumlah anggota Komisi A sebanyak 162 orang yang terdiri dari:

  1. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia - Perjuangan (42 orang)
  2. Fraksi Partai Golkar (43 orang)
  3. Fraksi Utusan Golongan (16 orang)
  4. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (15 orang)
  5. Fraksi Kebangkitan Bangsa (13 orang)
  6. Fraksi Reformasi (11 orang)
  7. Fraksi TNI/POLRI (11 orang)
  8. Fraksi Partai Bulan Bintang (3 orang)
  9. Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (4 orang)
  10. Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah (3 orang)
  11. Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa (1 orang)
Ketua Komisi A adalah Jakob Tobing (F-PDIP). Wakil Ketua Komisi A terdiri dari Slamet Effendy Yusuf (F-PG), Harun Kamil (F-UG), Zain Badjeber (F-PPP) dan Maruf Amin (F-KB).

Mekanisme pembahasan dilakukan tiap bab dengan dua putaran. Pada putaran pertama, pembahasan melalui curah pendapat anggota Komisi A. Lalu diteruskan dengan putaran kedua yang merupakan pendapat fraksi. Hasil pembahasan tiap fraksi tersebut dilanjutkan dengan lobi.

Selanjutnya, dilakukan perumusan oleh tim lobi dan tim perumus yang terdiri dari pimpinan komisi dan satu orang wakil dari masing-masing fraksi.

Dalam pembahasan di komisi A tersebut, dalam Pasal 2 ayat (1) muncul dua alternatif.  Pertama, MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum ditambah dengan UG. Kedua, keberadaan UG dihapuskan dari susunan MPR. Hampir seluruh fraksi di Komisi A memilih alternatif kedua. Namun, hal ini ditolak tegas oleh F-UG sehingga sempat mengalami deadlock.

Sementara di sisi lain, Fraksi TNI dan Polri, yang dipilih berdasarkan pengangkatan, tidak lagi memaksa untuk menjadi wakil di MPR pada periode transisi hingga tahun 2009, meski jalan keluar yang disepakati adalah mengurangi jumlah keanggotaan fraksinya. Hal ini disebabkan karena TNI dan POLRI tidak memiliki hak pilih.

Suasana deadlock ini memicu bergulirnya ide perlu dibentuknya Panitia Nasional Perubahan UUD 1945 atau Komisi Konstitusi yang secara independen membahas perubahan UUD 1945. Hal ini demi menghindari campur tangan kepentingan politik dibandingkan bila dilakukan di dalam tubuh MPR. Gagasan ini diadvokasikan oleh Koalisi untuk Konstitusi Baru, sebuah koalisi yang terdiri dari berbagai organisasi non-pemerintah dan individu untuk mendorong dibentuknya konstitusi baru melalui Komisi Konstitusi. Namun ide ini ditolak oleh beberapa fraksi yang ada di Komisi A. Alasannya, sudah ada BP MPR dan tim ahli yang mengerjakan pekerjaan Komisi Konstitusi tersebut.

Pada Sidang Paripurna ke-7, pada tanggal 8 November 2001, Komisi A menyampaikan hasil pembahasannya yang disahkan keesokan harinya sebagai bagian dari perubahan ketiga UUD 1945. Rumusan ini akhirnya disetujui sebagai bagian dari UUD 1945 yang diamandemen. Ketentuan mengenai DPD yang disetujui adalah sebagai berikut:

Bab VIIA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Pasal 22 C

  1. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.
  2. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
  3. Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.
  4. Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang.
Pasal 22D

  1. Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
  2. Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
  3. Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
  4. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.