DASAR-DASAR PEMIKIRAN
USULAN PERUBAHAN KELIMA UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
1. PENGANTAR
1.1. Metode Perubahan
1.2. Prinsip-Prinsip Dasar Perubahan
USULAN PERUBAHAN KELIMA UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
1. PENGANTAR
1.1. Metode Perubahan
1.2. Prinsip-Prinsip Dasar Perubahan
1.1. Metode Perubahan
Perubahan-perubahan konstitusi hanyalah bagian dari pembuatan konstitusi.13 Wheeler
membedakan antara amendemen (amendment) konstitusi dan revisi (revision)
konstitusi.14 Dia mendefinisikan sebuah ‘amendemen’ sebagai “perubahan dalam lingkup
yang terbatas, yang mencakup satu atau sejumlah terbatas aturan-aturan dalam sebuah
konstitusi”; sedangkan ‘revisi’ didefinisikannya sebagai “menimbang-ulang
(reconsideration) keseluruhan atau sebagian besar dari sebuah konstitusi”.15
Berangkat dari konsep reformasi konstitusi di atas, maka model perubahan sangat jelas
direpresentasikan oleh Amerika Serikat; sedangkan cara revisi dilakukan berkali-kali oleh
Perancis. Indonesia dengan Perubahan Pertama hingga Keempat sebenarnya melakukan
model revisi tetapi dengan tetap mendeklarasikan dan mempertahankan format
amandemen. Untuk agenda perubahan lanjutan, model perubahan ala Amerika Serikat
yang dipadukan dengan model Perancis tersebut agaknya tetap menjadi pilihan.
Penyebutan Perubahan Kelima adalah pilihan yang menunjukkan diadopsinya model
Amerika; sedangkan substansi perubahan yang komprehensif, menunjukkan dipilihnya
model perancis. Penggabungan kedua model tersebut dipilih karena, menegaskan sistem
revisi saja yang berarti melahirkan UUD baru – sulit dilakukan di tengah-tengah masih
kuatnya hubungan emosional dengan UUD 1945. Dengan demikian format metode
perubahan tetap addendum, melanjutkan pola sebelumnya. Maknanya amandemen
selanjutnya menjadi perubahan kelima, dan seterusnya.
Dengan format metode perubahan, maka amandemen lanjutan harus menggunakan
ketentuan mekanisme sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD 1945. Itu maknanya yang
harus melakukan perubahan adalah MPR. Keharusan itu menunjukkan kewenangan
konstitusional perubahan konstitusi tetap merupakan kewenangan monopoli MPR.
Meskipun demikian, bukan berarti naskah perubahan tidak dapat disiapkan oleh pihakpihak
lain di luar MPR. Pengkajian perubahan konstitusi dapat dilakukan pihak lain,
misalnya dari peruguruan tinggi. Karenanya, pemikiran yang pernah dikemukakan
Presiden SBY untuk membentuk Panitia Nasional – atau dengan nama lain – untuk
melakukan pengkajian dan perumusan naskah perubahan UUD 1945 adalah suatu hal
yang tidak keliru. Tentu saja, sepanjang naskah perubahan itu kemudian tetap dijadikan
bahan usulan perubahan konstitusi di hadapan MPR.
Hal lain yang perlu ditegaskan terkait metode perubahan adalah pentingnya partisipasi
publik, karena sangat mempengaruhi tingkat demokratisnya proses reformasi konstitusi.
Rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan oleh Commonwealth Human Rights
Initiatives kepada Commonwealth Heads of Government Meeting tahun 1999, misalnya,
menetapkan dua belas prinsip pembuatan konstitusi yang bertalian sangat erat dengan
partisipasi publik: (i) legitimasi; (ii) inklusifitas; (iii) pemberdayaan masyarakat sipil; (iv)
keterbukaan dan transparansi; (v) aksesabilitas; (vi) pengkajian yang berkesinambungan;
(vii) akuntabilitas; (ix) pentingnya proses; (x) peran partai-partai politik; (xi) peran
masyarakat sipil, dan; (xii) peran para pakar.16
Wheare berpendapat bahwa urun rembug rakyat dalam mengamendemen konstitusi
mereka adalah hal yang krusial.17 Bagi Rosen, rakyat tidak boleh diatur-atur oleh
konstitusi yang tidak mereka pahami.18 Keterlibatan publik memungkinkan sebuah
konstitusi dinyatakan sebagai sebuah“produk kedaulatan rakyat atas kehendak rakyat
[sendiri], ketimbang sebuah pernyataan kepentingan-kepentingan penguasa-penguasa
mereka.19 Lebih jauh, Ihonvbere menyatakan bahwa partisipasi akan membantu
membangun rasa ikut memiliki konstitusi.20 Konstitusi itu akan menjadi teks milik rakyat
yang “akan selalu mereka bela dan pertahankan.21 Oleh karena itu, keterlibatan mereka
bisa ikut memperkuat solidaritas dan identitas nasional.22
Bagi Wheeler, kekuasaan “untuk membuat dan mengubah konstitusi sebuah negara”
tidak boleh terlalu bergantung kepada lembaga pembuat konstitusi.23 Bahkan, katanya,
masalah prosedural utama dalam pembuatan konstitusi adalah memastikan kontrol rakyat
terhadap kekuasaan konstituante.24 Dalam kalimat-kalimat Ihonvbere:
... …sangat mudah membuat konstitusi yang benar-benar jelek. Yang perlu
dilakukan oleh negara dan semua pejabatnya hanyalah memperlakukan proses itu
sebagai proses pribadi atau proses rahasia, tanpa perlu berembug dengan siapa
pun, atau cukup dengan musyawarah minimal saja, dan lebih mengejar pengakuan
legal ketimbang membangun legitimasi rakyat seputar konstitusi itu. Kalau proses
semacam itu yang diikuti, bisa dijamin bahwa isi dari apa yang disebut konstitusi
itu pasti tidak akan demokratis dan tidak akan tanggap terhadap kehendak
mayoritas masyarakat...25
Menurut Saunders, konsultasi publik harus memenuhi sedikitnya dua aturan dasar:
kontribusi yang aktif dan inklusif.26 Agar menjadi satu kontribusi aktif, konsultasi publik
harus dimulai “sebelum aspek-aspek konstitusi yang baru ditetapkan secara efektif”.27
Aktivitas-aktivitas konsultasi atau musyawarah harus beranjak lebih dari sekadar
mendidik publik yang pasif, dan harus melakukan segala usaha untuk bisa secara aktif
melibatkan rakyat dalam proses pembuatan konstitusi.28 Aktivitas-aktivitas itu harus
“interaktif dan memberdayakan, mendorong rakyat untuk memberikan kontribusi yang
konstruktif bagi proses tersebut.29 Jadi, tindak lanjut adalah sesuatu yang krusial untuk
menunjukkan kepada rakyat bahwa urun rembug dari mereka sudah dipertimbangkan
dengan serius.30
Untuk bisa menumbuhkan partisipasi publik yang inklusif, diperlukan strategi-strategi
mengatasi dominasi kelompok-kelompok tertentu dan merangsang partisipasi dari
kelompok-kelompok lain yang mungkin masih bungkam.31 Sayangnya, isu-isu konstitusi
yang penting justru jarang diminati masyarakat luas.32 Oleh karenanya, bagi Wheeler,
kelesuan publik terhadap persoalan-persoalan konstitusi harus dilawan.33 Untuk itu,
partisipasi publik harus fokus dan kompetisi-kompetisi elektoral tidak boleh digelar pada
saat yang sama dengan berjalannya proses pembuatan konstitusi.34 Lebih dari itu,
Saunders berpendapat bahwa persoalan-persoalan konstitusi harus dihadirkan dalam satu
bentuk yang bisa dipahami dengan mudah oleh masyarakat umum.35 Segala jenis media
(televisi, cetak, dan radio) harus dimanfaatkan, karena bermacam-macam kelompok yang
ada di masyarakat menggunakan media komunikasi yang berbeda-beda.36
Perubahan-perubahan konstitusi hanyalah bagian dari pembuatan konstitusi.13 Wheeler
membedakan antara amendemen (amendment) konstitusi dan revisi (revision)
konstitusi.14 Dia mendefinisikan sebuah ‘amendemen’ sebagai “perubahan dalam lingkup
yang terbatas, yang mencakup satu atau sejumlah terbatas aturan-aturan dalam sebuah
konstitusi”; sedangkan ‘revisi’ didefinisikannya sebagai “menimbang-ulang
(reconsideration) keseluruhan atau sebagian besar dari sebuah konstitusi”.15
Berangkat dari konsep reformasi konstitusi di atas, maka model perubahan sangat jelas
direpresentasikan oleh Amerika Serikat; sedangkan cara revisi dilakukan berkali-kali oleh
Perancis. Indonesia dengan Perubahan Pertama hingga Keempat sebenarnya melakukan
model revisi tetapi dengan tetap mendeklarasikan dan mempertahankan format
amandemen. Untuk agenda perubahan lanjutan, model perubahan ala Amerika Serikat
yang dipadukan dengan model Perancis tersebut agaknya tetap menjadi pilihan.
Penyebutan Perubahan Kelima adalah pilihan yang menunjukkan diadopsinya model
Amerika; sedangkan substansi perubahan yang komprehensif, menunjukkan dipilihnya
model perancis. Penggabungan kedua model tersebut dipilih karena, menegaskan sistem
revisi saja yang berarti melahirkan UUD baru – sulit dilakukan di tengah-tengah masih
kuatnya hubungan emosional dengan UUD 1945. Dengan demikian format metode
perubahan tetap addendum, melanjutkan pola sebelumnya. Maknanya amandemen
selanjutnya menjadi perubahan kelima, dan seterusnya.
Dengan format metode perubahan, maka amandemen lanjutan harus menggunakan
ketentuan mekanisme sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD 1945. Itu maknanya yang
harus melakukan perubahan adalah MPR. Keharusan itu menunjukkan kewenangan
konstitusional perubahan konstitusi tetap merupakan kewenangan monopoli MPR.
Meskipun demikian, bukan berarti naskah perubahan tidak dapat disiapkan oleh pihakpihak
lain di luar MPR. Pengkajian perubahan konstitusi dapat dilakukan pihak lain,
misalnya dari peruguruan tinggi. Karenanya, pemikiran yang pernah dikemukakan
Presiden SBY untuk membentuk Panitia Nasional – atau dengan nama lain – untuk
melakukan pengkajian dan perumusan naskah perubahan UUD 1945 adalah suatu hal
yang tidak keliru. Tentu saja, sepanjang naskah perubahan itu kemudian tetap dijadikan
bahan usulan perubahan konstitusi di hadapan MPR.
Hal lain yang perlu ditegaskan terkait metode perubahan adalah pentingnya partisipasi
publik, karena sangat mempengaruhi tingkat demokratisnya proses reformasi konstitusi.
Rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan oleh Commonwealth Human Rights
Initiatives kepada Commonwealth Heads of Government Meeting tahun 1999, misalnya,
menetapkan dua belas prinsip pembuatan konstitusi yang bertalian sangat erat dengan
partisipasi publik: (i) legitimasi; (ii) inklusifitas; (iii) pemberdayaan masyarakat sipil; (iv)
keterbukaan dan transparansi; (v) aksesabilitas; (vi) pengkajian yang berkesinambungan;
(vii) akuntabilitas; (ix) pentingnya proses; (x) peran partai-partai politik; (xi) peran
masyarakat sipil, dan; (xii) peran para pakar.16
Wheare berpendapat bahwa urun rembug rakyat dalam mengamendemen konstitusi
mereka adalah hal yang krusial.17 Bagi Rosen, rakyat tidak boleh diatur-atur oleh
konstitusi yang tidak mereka pahami.18 Keterlibatan publik memungkinkan sebuah
konstitusi dinyatakan sebagai sebuah“produk kedaulatan rakyat atas kehendak rakyat
[sendiri], ketimbang sebuah pernyataan kepentingan-kepentingan penguasa-penguasa
mereka.19 Lebih jauh, Ihonvbere menyatakan bahwa partisipasi akan membantu
membangun rasa ikut memiliki konstitusi.20 Konstitusi itu akan menjadi teks milik rakyat
yang “akan selalu mereka bela dan pertahankan.21 Oleh karena itu, keterlibatan mereka
bisa ikut memperkuat solidaritas dan identitas nasional.22
Bagi Wheeler, kekuasaan “untuk membuat dan mengubah konstitusi sebuah negara”
tidak boleh terlalu bergantung kepada lembaga pembuat konstitusi.23 Bahkan, katanya,
masalah prosedural utama dalam pembuatan konstitusi adalah memastikan kontrol rakyat
terhadap kekuasaan konstituante.24 Dalam kalimat-kalimat Ihonvbere:
... …sangat mudah membuat konstitusi yang benar-benar jelek. Yang perlu
dilakukan oleh negara dan semua pejabatnya hanyalah memperlakukan proses itu
sebagai proses pribadi atau proses rahasia, tanpa perlu berembug dengan siapa
pun, atau cukup dengan musyawarah minimal saja, dan lebih mengejar pengakuan
legal ketimbang membangun legitimasi rakyat seputar konstitusi itu. Kalau proses
semacam itu yang diikuti, bisa dijamin bahwa isi dari apa yang disebut konstitusi
itu pasti tidak akan demokratis dan tidak akan tanggap terhadap kehendak
mayoritas masyarakat...25
Menurut Saunders, konsultasi publik harus memenuhi sedikitnya dua aturan dasar:
kontribusi yang aktif dan inklusif.26 Agar menjadi satu kontribusi aktif, konsultasi publik
harus dimulai “sebelum aspek-aspek konstitusi yang baru ditetapkan secara efektif”.27
Aktivitas-aktivitas konsultasi atau musyawarah harus beranjak lebih dari sekadar
mendidik publik yang pasif, dan harus melakukan segala usaha untuk bisa secara aktif
melibatkan rakyat dalam proses pembuatan konstitusi.28 Aktivitas-aktivitas itu harus
“interaktif dan memberdayakan, mendorong rakyat untuk memberikan kontribusi yang
konstruktif bagi proses tersebut.29 Jadi, tindak lanjut adalah sesuatu yang krusial untuk
menunjukkan kepada rakyat bahwa urun rembug dari mereka sudah dipertimbangkan
dengan serius.30
Untuk bisa menumbuhkan partisipasi publik yang inklusif, diperlukan strategi-strategi
mengatasi dominasi kelompok-kelompok tertentu dan merangsang partisipasi dari
kelompok-kelompok lain yang mungkin masih bungkam.31 Sayangnya, isu-isu konstitusi
yang penting justru jarang diminati masyarakat luas.32 Oleh karenanya, bagi Wheeler,
kelesuan publik terhadap persoalan-persoalan konstitusi harus dilawan.33 Untuk itu,
partisipasi publik harus fokus dan kompetisi-kompetisi elektoral tidak boleh digelar pada
saat yang sama dengan berjalannya proses pembuatan konstitusi.34 Lebih dari itu,
Saunders berpendapat bahwa persoalan-persoalan konstitusi harus dihadirkan dalam satu
bentuk yang bisa dipahami dengan mudah oleh masyarakat umum.35 Segala jenis media
(televisi, cetak, dan radio) harus dimanfaatkan, karena bermacam-macam kelompok yang
ada di masyarakat menggunakan media komunikasi yang berbeda-beda.36